Senin, 02 Januari 2012

Bom Bunuh Diri


BOM BUNUH DIRI
(Jihad Atau Terorisme)

A.    Pendahuluan
Agama dewasa ini tampil dengan sosok yang menakutkan, aksi-aksi kekerasan kerap kali terjadi atas nama agama. Juergensmeyer menyatakan agama berperan besar memberikan motivasi dan justifikasi terhadap aksi-aksi kekerasan yang selama ini terjadi.[1] Misalnya saja, konflik abadi antar agama, apa yang kita sebut dengan neverending-conflict, antara Israel dan Palestina, serangkaian bom bunuh diri di Israel yang juga tak jarang menewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syari'at Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an). Puncaknya adalah serangan terorisme ke WTC 11 September di Amerika Serikat yang menewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa; bom Bali yang menewaskan lebih dari 180 orang; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya.
Namun, Sejak serangan 11 September 2001, opini dunia memberikan kesan bahwa konotasi teroris itu adalah Islam fundamentalis, opini dunia didominasi oleh Amerika Serikat. Pemberian nama (labelling) teroris kepada kelompok Islam tertentu semakin kuat dan meluas sehubungan dengan tuduhan kepada jaringan al-Qaeda adalah jaringan teroris internasional yang terdapat di seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan ini tampak jelas apa yang dikatakan oleh Samuel Huntington dengan istilah the clashof civilization, istilah ini bukan saja membangkitkan semangat perang salib baru antara Islam dan Barat, akan tetapi juga menimbulkan kebingungan, siapa sebenarnya yang disebut teroris?
Tuduhan pada kelompok Islam ini menjadikan cap yang tidak baik bagi umat Islam. Seakan penggunaan kekerasan dengan cara menakut-nakuti orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu merupakan suatu hal yang lekat dengan Islam. Terhadap tuduhan ini setidaknya ada tiga kalangan yang menanggapinya; Pertama, membenarkan dan memahami tuduhan itu mengingat perangai sebagian umat Islam yang tidak amat toleran dengan produk pemikiran, wacana dan kebudayaan yang tidak bersumber pada teks suci Islam secara tekstual. Kedua, menolak keras tuduhan itu, mengingat tuduhan itu belum disertai dengan bukti yang kuat dan dianggap hanya upaya memojokkan umat Islam. Ketiga, meminta kepada Amerika agar tidak mengeneralisasi bahwa Islam tidak identik dengan teroris, karena banyak sekali umat Islam yang memiliki faham moderat.[2]
Islam dan terorisme jelas tidak ada kaitannya, menurut Azyumardi Azra, ia mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan etos kemanusiaan universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan dan kehormatan, akan tetapi perjuangan itu haruslah tidak dengan cara-cara kekerasan atau terorisme.[3]
Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang mengajarkan dan menjustifikasi kepada muslim untuk berperang (h}arb) dan menggunakan kekerasan (qita>l) terhadap para penindas dan musuh-musuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap permusuhan atau tidak mau berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin.[4]
Istilah teror dan terorisme lebih punya kaitan erat dengan kegiatan intelijen. Lembaga-lembaga intelijen termashur seperti Mossad (Israel), CIA (AS), MI-6 (Inggris), dan dulu KGB (Uni Soviet), punya taktik dan strategi menciptakan gerakan-gerakan intelejen dan kontra-intelijen dalam berbagai cara. Termasuk teror dan kontrateror. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi, diasosiasikan dengan jihad dalam Islam, Jihad sering disamakan dengan holywar (perang suci) dalam konteks Kristen Eropa; perang melawan orang kafir, yang lebih parah lagi adalah pengkaburan makna jihad yang banyak dan beragam itu, jihad selalu diartikan sebuah konfrontasi fisik. Tentu saja, secara politis ada political interest untuk mendiskreditkan kelompok agama tertentu.
Di Indonesia, istilah teror dan terorisme dikaitkan dengan produk pendidikan pesantren,[5] jihad fi sabilillah dalam artian melawan kezaliman dan kejahatan penjajah. Maka, terlalu riskan menyebutkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam menciptakan teror dan terorisme di Indonesia, sebab tidak ada kitab-kitab pesantren yang mengajarkan cara merakit bom, cara menggalang pasukan, cara melatih diri (i'dad) menghadapi jiha>d al-qita>l. Dan jika ada alumni pesantren terkait dengan tindakan terorisme, itu jelas di luar pesantren. Sehingga tak dapat mengait-ngaitkan pesantren yang pernah dijadikan tempat belajar seseorang tersangka pelaku teror. tentu saja tuduhan itu ditolak oleh kalangan masyarakat pesantren. Pesantren memang memiliki sejarah kuat dan panjang dalam angkat senjata melawan kolonialis-imperialis Belanda (juga Jepang), sejak awal abad 16 hingga penghujung abad 19. Santri dan kiai mengganti kitab dengan senjata. Mereka menggemakan Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kawanan teroris Dr. Azhari dalam lima tahun terakhir ini, selalu berakar pada konsep ”jihad” dalam Islam. Dimulai dari Bom Bali jilid I 12 Oktober 2002 yang menewaskan ratusan nyawa; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya, kasus bom bunuh diri (suicide bombing) dalam Bom Bali jilid II, sekaligus deretan pemboman lain, kasus-kasus penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain (the others) kerap kali terjadi. Inilah problem ketika agama dijadikan legitimasi sebuah kepentingan kelompok agama tertentu, dan ketika jihad dimaknai sebagai sikap ofensif dengan dalih mendapatkan balasan sorga, maka sesungguhnya yang terjadi adalah krisis wacana keagamaan, bahkan krisis nurani kemanusiaan.
Dengan latar belakang realita diatas, tulisan ini akan menganalisis kasus Bom Bunuh Diri yang merupakan era baru terorisme di Indonesia, apakah hal tersebut merupakan jihad atau terorisme?, bagaimana sebenarnya konsep jihad dalam Islam, dan bagaimana pandangan Islam terhadap terorisme, apakah terorisme sama dengan jihad? Untuk membahas lebih lanjut penulis menggunakan pendekatan teologis-sosiologis, yakni bagaimana doktrin agama tentang jihad, serta bagaimana aspek-aspek sosiologis praktek kekerasan yang sering kali mengatasnamakan agama, yang dalam bahasa Barat merupakan aksi terorisme.

MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
HP: 081357727997
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar