Kamis, 05 Januari 2012

Dinasti Safawiyah di Persia


DINASTI S{AFAWIYAH DI PERSIA
(Politik dan Peradabannya – Abad XIV – XVIII)

A.    Pendahuluan
Islam hadir di muka bumi menyelamatkan manusia dari kejahiliyahan, hadirnya membawa kemaslahatan bagi penghuni dunia. Kedatangan Islam ditandai dengan diutusnya Muhammad SAW sebagai utusan Allah penyebar risalah Islamiyah. Sekitar 610 M Nabi Muhammad SAW menerima wahyu al-Qur’an pertama kalinya di Mekkah dan dua tahun kemudian mulai mengajarkannya. [1]
Ditinjau dari sisi sejarah peradaban Islam, banyak terjadi beberapa model periodesasi sejarah Islam diantaranya adalah periodesasi menurut Harun Nasution yang terbagi dalam tiga periode, Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Modern (1800 M sampai sekarang).
Periode pertama adalah masa Rasulullah SAW hingga jatuhnya pemerintahan Bani Abbas di Baghdad. Periode pertengahan dimulai dari jatuhnya Bani Abbas hingga datangnya pengaruh modernisasi di Eropa ke dalam dunia Islam. Dalam periode ini ditandai dengan masa-masa kemunduran pertama peradaban Islam yang sering disebut masa stagnan, yakni sejak jatuhnya Bani Abbas hingga lahir tiga kerajaan besar; S{afawiyah di Persia, Mughal di India dan Uthmani di Turki. Periode terakhir atau periode modern ditandai dengan masa penjajahan Eropa terhadap dunia Islam.[2]
Berdasarkan periodesasi tersebut, penulis berusaha mendeskripsikan salah satu tiga kerajaan besar Islam masa periode pertengahan yaitu Kerajaan S{afawi di Persia, dengan beberapa sub bahasan yaitu; sejarah berdirinya dinasti S{afawiyah, kebijakan politik dan keagamaan dinasti S{afawiyah serta madhhab filsafat Isfahan dan Ishra>qi>.



MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
Telp: 081357727997

Selasa, 03 Januari 2012

الأصل فى الأمر للوجوب


KAIDAH:
اَلأَصلُ فِى الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
Nash:
Al-Ah}za>b: 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”
As-Sam’ani berkata: Allah telah menetapkan adanya kebaikan dalam setiap perintah-Nya, karena adanya kebaikan tersebut maka perintah itu harus dikerjakan.[1]
Menurut al-Jas}s}a>s}, ayat ini menunjukkan wajibnya perintah dari dua hal:
Pertama; tidak boleh mengingkari apa yang telah diperintahkan. Kedua; pada ayat (wa man ya’s}i Allah wa rasu>lahu), orang yang meninggalkan perintah disebut durhaka, dan disebut durhaka tidak lain karena meninggalkan perintah. Dalam bahasa Arab, lafal yang menunjukkan perintah tidak lain untuk menuntut melaksanakan, maka ini menunjukkan kewajiban, sampai ada dalil yang menunjukkan selainnya.[2]
Ketetapan dalam ayat ini (idha qad}a Allah wa rasu>luhu amran/ jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan) ini menunjukkan tuntutan, dan tuntutan itu menunjukkan kewajiban.[3]

MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
HP: 081357727997

Gerbangsalam di Pamekasan

SHARIAT ISLAM DALAM PERDA-PERDA SHARIAH
(KASUS DI PAMEKASAN JAWA TIMUR)

A.    Pendahuluan
Seiring perkembangan berbangsa dan bernegara, ekspresi dan aktualisasi hubungan agama dan negara di Indonesia muncul sangat variatif dan beraneka ragam. Pada masa reformasi, banyak bermunculan aspirasi dan tuntutan sebagian kelompok umat Islam untuk mewacanakan kembali pentingnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[1] Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa partai Islam yang memiliki platform untuk menjadikan hukum (syariat) Islam berlaku dalam kehidupan di Indonesia.
Selain melalui instrumen partai politik, wacana penerapan Syariat Islam juga muncul di daerah-daerah sebagai salah satu ekses dari otonomi daerah, terutama dengan diundangkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU No.34 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian memberi peluang besar bagi daerah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan daerah. Termasuk daerah-daerah yang mempunyai concern besar terhadap upaya penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat di daerahnya masing-masing
Beberapa daerah yang kemudian berupaya untuk melakukan penerapan syariat Islam antara lain: Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Kabupaten Cianjur, Banten, dan termasuk juga Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan ini kemudian secara resmi pada tanggal 4 November 2002 mendeklarasikan satu upaya bersama menuju Syariat Islam yang dikemas dalam Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (GERBANGSALAM) dengan berbagai varian gerakan, misalnya melalui instrumen Peraturan Daerah (PERDA), Surat Edaran Bupati, himbauan-himbauan, dan berbagai macam instrumen lainnya.
Dalam sebuah literatur normatif karya Rahmat Roshadi dan Rais Ahmad, dipaparkan bahwa lahirnya PERDA Syariat Islam di Pamekasan merupakan salah satu dimensi pemberdayaan potensi keislaman masyarakat Pamekasan yang di ejawantahkan melalui hasil elaborasi pemerintah dengan masyarakat dalam sebuah PERDA. Modal tersebut cukup menjadi peluang untuk menciptakan kebersamaan dalam memberlakukan syariat Islam di daerah ini, yang kemudian di awali dengan: (1) Komitmen masyarakat melalui deklarasi umat Islam Pamekasan untuk meningkatkan pengamalan syariat Islam pada 4 November 2002 (2) Iklim dan spirit otonomi yang memungkinkan setiap daerah dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakannya (3) Lahirnya paradigma baru di bidang pemerintahan, di mana rakyat selain sebagai subjek pembangunan, juga merupakan sumber informasi pembangunan.[2]
Bagaimanakah formalisasi syari’at Islam di Pamekasan dan bagaimana respon masyarakat Pamekasan terhadap diberlakukannya syari’at Islam di Pamekasan, maka dalam makalah ini akan berusaha menjelaskannya.


MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
HP: 081357727997

Senin, 02 Januari 2012

Bom Bunuh Diri


BOM BUNUH DIRI
(Jihad Atau Terorisme)

A.    Pendahuluan
Agama dewasa ini tampil dengan sosok yang menakutkan, aksi-aksi kekerasan kerap kali terjadi atas nama agama. Juergensmeyer menyatakan agama berperan besar memberikan motivasi dan justifikasi terhadap aksi-aksi kekerasan yang selama ini terjadi.[1] Misalnya saja, konflik abadi antar agama, apa yang kita sebut dengan neverending-conflict, antara Israel dan Palestina, serangkaian bom bunuh diri di Israel yang juga tak jarang menewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syari'at Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an). Puncaknya adalah serangan terorisme ke WTC 11 September di Amerika Serikat yang menewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa; bom Bali yang menewaskan lebih dari 180 orang; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya.
Namun, Sejak serangan 11 September 2001, opini dunia memberikan kesan bahwa konotasi teroris itu adalah Islam fundamentalis, opini dunia didominasi oleh Amerika Serikat. Pemberian nama (labelling) teroris kepada kelompok Islam tertentu semakin kuat dan meluas sehubungan dengan tuduhan kepada jaringan al-Qaeda adalah jaringan teroris internasional yang terdapat di seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan ini tampak jelas apa yang dikatakan oleh Samuel Huntington dengan istilah the clashof civilization, istilah ini bukan saja membangkitkan semangat perang salib baru antara Islam dan Barat, akan tetapi juga menimbulkan kebingungan, siapa sebenarnya yang disebut teroris?
Tuduhan pada kelompok Islam ini menjadikan cap yang tidak baik bagi umat Islam. Seakan penggunaan kekerasan dengan cara menakut-nakuti orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu merupakan suatu hal yang lekat dengan Islam. Terhadap tuduhan ini setidaknya ada tiga kalangan yang menanggapinya; Pertama, membenarkan dan memahami tuduhan itu mengingat perangai sebagian umat Islam yang tidak amat toleran dengan produk pemikiran, wacana dan kebudayaan yang tidak bersumber pada teks suci Islam secara tekstual. Kedua, menolak keras tuduhan itu, mengingat tuduhan itu belum disertai dengan bukti yang kuat dan dianggap hanya upaya memojokkan umat Islam. Ketiga, meminta kepada Amerika agar tidak mengeneralisasi bahwa Islam tidak identik dengan teroris, karena banyak sekali umat Islam yang memiliki faham moderat.[2]
Islam dan terorisme jelas tidak ada kaitannya, menurut Azyumardi Azra, ia mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan etos kemanusiaan universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan dan kehormatan, akan tetapi perjuangan itu haruslah tidak dengan cara-cara kekerasan atau terorisme.[3]
Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang mengajarkan dan menjustifikasi kepada muslim untuk berperang (h}arb) dan menggunakan kekerasan (qita>l) terhadap para penindas dan musuh-musuh Islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap permusuhan atau tidak mau berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslimin.[4]
Istilah teror dan terorisme lebih punya kaitan erat dengan kegiatan intelijen. Lembaga-lembaga intelijen termashur seperti Mossad (Israel), CIA (AS), MI-6 (Inggris), dan dulu KGB (Uni Soviet), punya taktik dan strategi menciptakan gerakan-gerakan intelejen dan kontra-intelijen dalam berbagai cara. Termasuk teror dan kontrateror. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi, diasosiasikan dengan jihad dalam Islam, Jihad sering disamakan dengan holywar (perang suci) dalam konteks Kristen Eropa; perang melawan orang kafir, yang lebih parah lagi adalah pengkaburan makna jihad yang banyak dan beragam itu, jihad selalu diartikan sebuah konfrontasi fisik. Tentu saja, secara politis ada political interest untuk mendiskreditkan kelompok agama tertentu.
Di Indonesia, istilah teror dan terorisme dikaitkan dengan produk pendidikan pesantren,[5] jihad fi sabilillah dalam artian melawan kezaliman dan kejahatan penjajah. Maka, terlalu riskan menyebutkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam menciptakan teror dan terorisme di Indonesia, sebab tidak ada kitab-kitab pesantren yang mengajarkan cara merakit bom, cara menggalang pasukan, cara melatih diri (i'dad) menghadapi jiha>d al-qita>l. Dan jika ada alumni pesantren terkait dengan tindakan terorisme, itu jelas di luar pesantren. Sehingga tak dapat mengait-ngaitkan pesantren yang pernah dijadikan tempat belajar seseorang tersangka pelaku teror. tentu saja tuduhan itu ditolak oleh kalangan masyarakat pesantren. Pesantren memang memiliki sejarah kuat dan panjang dalam angkat senjata melawan kolonialis-imperialis Belanda (juga Jepang), sejak awal abad 16 hingga penghujung abad 19. Santri dan kiai mengganti kitab dengan senjata. Mereka menggemakan Aksi-aksi terorisme yang dilakukan kawanan teroris Dr. Azhari dalam lima tahun terakhir ini, selalu berakar pada konsep ”jihad” dalam Islam. Dimulai dari Bom Bali jilid I 12 Oktober 2002 yang menewaskan ratusan nyawa; ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya, kasus bom bunuh diri (suicide bombing) dalam Bom Bali jilid II, sekaligus deretan pemboman lain, kasus-kasus penyerangan, kekerasan, bahkan permusuhan terhadap pihak lain (the others) kerap kali terjadi. Inilah problem ketika agama dijadikan legitimasi sebuah kepentingan kelompok agama tertentu, dan ketika jihad dimaknai sebagai sikap ofensif dengan dalih mendapatkan balasan sorga, maka sesungguhnya yang terjadi adalah krisis wacana keagamaan, bahkan krisis nurani kemanusiaan.
Dengan latar belakang realita diatas, tulisan ini akan menganalisis kasus Bom Bunuh Diri yang merupakan era baru terorisme di Indonesia, apakah hal tersebut merupakan jihad atau terorisme?, bagaimana sebenarnya konsep jihad dalam Islam, dan bagaimana pandangan Islam terhadap terorisme, apakah terorisme sama dengan jihad? Untuk membahas lebih lanjut penulis menggunakan pendekatan teologis-sosiologis, yakni bagaimana doktrin agama tentang jihad, serta bagaimana aspek-aspek sosiologis praktek kekerasan yang sering kali mengatasnamakan agama, yang dalam bahasa Barat merupakan aksi terorisme.

MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
HP: 081357727997
 
 

PEMBUKAAN

Bismillahirrahmanirrahim