Sabtu, 18 Februari 2012

SADD AL-DHARI‘AH


SADD AL-DHARI<‘AH:
MAKNA DAN TERAPANNYA DALAM ISTINBA<T{ HUKUM


A.   Pendahuluan
Hukum Islam (fiqh) mengalami perkembangan dan pergeseran yang sangat signifikan. Pada zaman Rasulullah Saw. persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam langsung mendapatkan bimbingan dan jawaban dari beliau. Sepeninggal beliau, seiring dengan perkembangan dan perluasan Islam yang sangat cepat, persoalan-persoalan hukum kian menjadi rumit, sehingga membutuhkan pemecahan hukum yang tepat pula.
Persoalan-persoalan hukum yang dapat dicari jawabannya dalam nas (al-Qur’a>n dan al-Sunnah) dan bersifat pasti, tentu tidak menjadi persoalan yang rumit, karena para praktisi hukum dapat secara langsung merujuk pada aturan-aturan nas. Namun, menjadi hal yang berbeda jika persoalan-persoalan hukum tersebut tidak dijumpai dalam nas atau dapat dijumpai dalam nas namun ketentuannya tidak bersifat pasti. Ijtihad atau pengerahan pemikiran dengan mencari dan menggali saripati/tujuan syari’at dalam nas adalah jawabannya untuk memperoleh ketentuan hukum.
Hukum Islam, selain mengatur perilaku manusia dengan hukum positif, juga mengatur perilaku yang sifatnya antisipatif. Artinya selain mengatur perilaku yang telah dan sedang dilakukan, juga mengatur perilaku yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti hukum Islam mengekang kebebasan manusia dalam daya kreativitasnya, namun lebih karena hukum Islam bertindak preventif dikarenakan suatu perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian/kerusakan (mafsadat) pada diri manusia sendiri atau dapat juga diperibahasakan sebagai mencegah “senjata makan tuan”.
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu. Yang jelas tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dilakukan itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang diutju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilalui. Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan, umpamanya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangan kegiatan-kegitan lainnya tersebut itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan atau yang dalam us}ul al-fiqh dikenal dengan dhari>‘ah, yaitu sarana untuk menuju kepada tujuan apakah tujuan itu baik ataukah buruk. Jika tujuannya baik, tentunya sarana harus dijalankan, dan jika tujuannya membawa kepada keburukan/kerusakan tentunya harus dicegah, dihalangi, atau bahkan ditutup.
Dengan demikian, dalam hukum Islam, jika tujuan yang hendak dicapai itu tersebut adalah wajib tentunya pula sarana untuk menujunya juga menjadi wajib, demikian pula sebaliknya.
Metode ijtihad sebagai sarana untuk menemukan hukum seperti itu dikenal dengan sadd al-dhari>‘ah[1] (menutup jalan terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian, kerusakan, ataupun keharaman).

MAKALAH SELENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI:
Email: doyoxarifin@gmail.com
HP: 081357727997 


[1] Metode ini merupakan metode penemuan hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama, lihat dalam ‘Abd al-Kari>m ibn ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Namlah, al-Ja>mi‘ li Masa>’il Us}u>l al-Fiqh, cet. I (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2000), 373. Lihat juga ‘Ima>d ‘Ali> Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh al-Muyassar (Jordan: Da>r al-Nafa>’is, 1429 H.), 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar